TEMU Teater Mahasiswa Nusantara (Temu Teman) Makassar tak terasa semakin dekat. Setelah pamit ke lembaga masing-masing, saya dan Ihsan menuju Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu.
Sebelum penyebrangan menuju Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan pada Selasa 16 Juli 2024 lalu, banyak peristiwa unik sepanjang perjalanan. Di mana tiba-tiba berjumpa sekelompok orang demo di kawasan Bati-Bati Kabupaten Tanah Laut, dan menjelang sore kami tak sengaja bertemu warga Bima di pantai Pagatan.
Entah kenapa saya merasa semua ini bukan hanya kebetulan namun merupakan pertanda semesta. Singkatnya saya dan Ihsan mewakili Sanggar Seni Demokrat (SSD) menunggu kawan-kawan dari Teater Himasindo di Batulicin.
Nah, sebelum kapal yang kami tumpangi berangkat, Rabu (17/7) sekira pukul 18.00 WITA, ada kabar tak terduga, salah satu rekan di Himasindo Ryan tak jadi berangkat karena ayahnya sakit. Akhirnya hanya bertiga kami berangkat yakni saya dan Ihsan dari SSD, dan Rifal dari Himasindo.
Tepat pukul 20.00 WITA, kapal meluncur dari Batulicin menuju Sulawesi. Guncangan ombak yang lumayan besar dan kapal yang mungkin terbilang kecil menyebabkan Rifal dan Ihsan beberapa kali muntah alias mabuk laut. Terkhusus Ihsan, ini adalah pengalaman pertamanya dengan rute yang tidak pendek menuju timur Indonesia.
Awalnya, kami mengira kapal akan tiba di Makassar pada pukul 00.00 WITA atau tanggal 26 Juli 2024, ternyata kapal delay dan paginya kami baru sandar di pelabuhan Soekarno Hatta. Ternyata rekanan dari Pekerja Seni Kampus Makassar (PSK Makassar) telah menunggu dan menghubungi, namun kami baru bisa berkabar setelah kapal mendekati Makassar. Beberapa rekanan telah menunggu di sana diantara teman-teman dari UKM SB eSA UIN Alauddin Makassar, Bunga FIKK UNM, UKM KLIMAKS Universitas Tamalatea, LKM (Lembaga Kesenian Mahasiswa) Universitas Bosowa Makassar dan satu teman dari Palu dari Sanggar Seni Wanara Universitas Tadulako.
Kami hanya sempat transit 3 jam di Makassar, lalu pada pukul 10.00 WITA naik lagi ke kapal untuk melanjutkan perjalanan. Lagi-lagi ombak cukup besar di laut, dan beberapa teman sempat tumbang. Namun disela itu, ada satu keresahan yang sama kami rasakan, mengenai keberlangsungan Temu Teman, spirit yang mulai luntur di Temu Teman.
Saya, Alfian dari LKM yang kebetulan menjadi Ketua Pelaksana Temu Teman Makassar, ada juga Amor dan Malewa dari eSA. Kami meresahkan dimana orang-orang di Temu Teman sudah tidak lagi berbicara soal karya, jangankan karya gagasan dan peristiwa tidak lagi lahir melainkan hanya sebatas seremonial dan euphoria, Bukan lagi hakikatnya menjadi sebuah peristiwa kebudayaan yang melahirkan gagasan-gagasan. Temu Teman sekarang sangat jauh daripada esensi sebenarnya, itu yang kami bincangkan di tengah laut disela candaan. Artinya tidak hanya soal romantisme dan sebuah persaudaraan, namun lagi-lagi bicara soal karya karena awal lahirnya Temu Teman merespons beberapa peristiwa.
Peristiwa kebudayaan yang dibangun oleh para pendahulu saat Temu Teman di Makassar pada 2002 lalu. Temu Teman bukan kompetisi, dimana semua karya diapresiasi, ruang silaturahmi lingkar diskusi. Inilah spirit dan menjadi identitas sebenarnya dari Temu Teman. Teater menjadi corong dan mahasiswa menjadi ruh dari Temu Teman itu sendiri. Jalinan peristiwa yang terceritakan oleh pendahulu kami memunculkan satu pertanyaan bagaimana ini bisa berlanjut lagi kedepannyaa, spirit dan gagasan apa lagi yang dapat dilahirkan di Kota Bima dalam perjalanan kami.
Semoga ada sebuah peristiwa lahir nanti, itulah harapan kami seiring dengan tawa, keluh kesah kami tentang lamanya kapal sampai di Kota Bima yang tiba di Minggu dini hari.
Semoga Temu Teman kali ini tidak hanya menjadi romantisme, namun peristiwa baru lahir khususnya untuk kaum mahasiswa yang katanya intelektual, dan teater mahasiswa yang seyogyanya menjadi corong merespons ekosistem, kebudayaan khususnya di Nusantara.***
Diterbitkan tanggal 24 Juli 2024 by admin
Discussion about this post