HARI Musik Nasional diperingati setiap tanggal 9 Maret, bertepatan dengan lahirnya WR Supratman. Berbicara soal musik, ada peristiwa menarik yang terjadi belakangan ini. Musik bukan sekadar bunyi bunyian ataupun hiburan saja, namun dapat menjadi sebuah gerakan atau pembentuk suatu kebudayaan.
Suka atau tak suka begitulah faktanya, tren pakaian hingga corong dari sebuah gerakan perjuangan, musik adalah salah satunya. Kita masih ingat bagaimana saat lagu Sukatani ‘Bayar, Bayar’ memantik perhatian publik, bahkan banyak yang bereaksi saat band post punk ini diduga diintimidasi.
Itu hanya secuil contoh kecil bagaimana musik memberi pengaruh dalam sebuah lingkungan, yaitu kritik terhadap sebuah ketidakadilan. Sukatani bukan yang pertama, generasi sekarang punya Feast yang beberapa kali mengkritik dan mensatir keadaan dengan karya mereka. Selain dua nama tersebut sebutlah efek rumah kaca yang konsisten sampai sekarang.
Selain narasi kritik dan perjuangan, gerakan musik peduli mulai digaungkan Music Declares Emergency Indonesia, salah satu gerakan nyata kepedulian atas lingkungan.
Tagline ‘No Music On A Dead Planet’ digaungkan untuk apa bermusik kalau planet mati secara ekosistem. Gerakan ini mulai masif belakangan.
Gerakan yang berasal dari Eropa dibawa oleh Gede Robi (Navicula). Perlahan namun pasti banyak nama baru, diantaranya Voice of Baceproot, Asteriska (Barasuara), Las dari Pontianak, The Vondalz dari Makassar bahkan Petra Sihombing.
Ini merupakan bentuk gerakan positif untuk meningkatkan kepedulian terhadap bumi, krisis iklim di bumi Nusantara, khususnya dunia. Artinya musik bukan sekadar sarana hiburan, namun dapat menjadi pergerakan yang masif.(Rizky Fadhlillah)
Diterbitkan tanggal 9 Maret 2025 by admin