PADA Sabtu malam (12/7), Kampung Ketupat yang biasanya sunyi tiba-tiba bergemuruh oleh tepuk tangan dan nyanyian. Sebuah panggung sederhana berdiri gagah di tengah angin dan sisa gerimis. Di sanalah “Gitara” dipentaskan—sebuah pertunjukan kolaboratif antara divisi Musik dan Paduan Suara Sanggar Seni Demokrat (SSD) FISIP ULM, yang bukan sekadar pertunjukan biasa, tetapi juga pernyataan sikap dan eksperimen kreatif dari anak-anak seni kampus.
“Gitara” bukan sekadar proyek pentas. Ia adalah hasil lintas divisi, lintas emosi, dan lintas batas kebiasaan. Selama ini, SSD dikenal lewat tradisi internalnya—musikalisasi puisi yang disimpan rapi di antara dinding-dinding kampus. Tapi kali ini berbeda. Mereka memilih untuk tampil ke publik, untuk menantang diri, dan untuk menyapa penonton lebih luas dengan format yang lebih matang: gabungan paduan suara, vokal grup, musik live, dan pentas teater.
Meski waktu persiapan terbilang singkat, semangat kolaboratif para penggarap dan talent tak goyah. Laidar, selaku pimpinan produksi, sempat meragukan apakah proses bisa berjalan mulus. Apalagi, menjelang hari H, banyak hal teknis yang sempat mengguncang. Cuaca pun tak bersahabat—hujan deras dan angin kencang sempat memaksa mereka mengubah tata panggung, termasuk layout kain hitam yang menjadi bagian penting visualisasi. Namun, dengan briefing cepat dan gotong royong yang sigap, para pengisi acara bisa menyesuaikan dan tetap tampil dengan penuh energi.
“Energi malam itu adalah hasil dari semua latihan, semua kebersamaan,” kata Laidar, usai pertunjukan.
“Dan rasa syukur saya, mereka tidak kecewa, bahkan merindukan prosesnya,” tambahnya.
Sebanyak 134 penonton tercatat hadir. Sebuah angka yang cukup mengejutkan untuk acara panggung alternatif di luar Balairung. Penonton datang, duduk, dan menikmati. Bukan hanya karena pertunjukan yang menghibur, tapi karena kejujuran yang terpancar dari tiap lantunan suara dan gerak tubuh di atas panggung. Mereka menyaksikan sesuatu yang nyata—hasil dari proses, bukan hanya hasil akhir.
Lebih dari sekadar pementasan, “Gitara” menjadi titik tolak baru bagi SSD. Mereka tidak bermain aman. Mereka meninggalkan zona nyaman Balairung dan memilih Kampung Ketupat—ruang publik yang lebih terbuka, lebih hidup, dan lebih menantang secara teknis maupun sosial. Pilihan itu, menurut Laidar, adalah bentuk keberanian yang patut dihargai.
“Banyak yang ingin saya sampaikan, tapi tak semuanya bisa diucapkan,” ujarnya dengan mata berbinar.
Di balik segala tantangan, ada rasa lega dan harapan. Harapan bahwa semangat ini terus menyala dalam pengkaryaan selanjutnya. Harapan bahwa eksplorasi akan menjadi nafas baru Sanggar Seni Demokrat. Dan tentu saja, rasa terima kasih yang tak terhingga bagi semua yang telah terlibat.
Karena Gitara bukan hanya sebuah pertunjukan. Ia adalah semangat kolektif yang memilih untuk tampil, meski langit sedang tidak bersahabat.***
Diterbitkan tanggal 15 Juli 2025 by admin
Discussion about this post