MEGAPOLIS.ID, BARABAI – Sengketa tapal batas Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) dengan Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan yang dinilai tidak sesuai pada tahun 2021 dibahas dalam forum internasional.
Forum tersebut yakni The 46th Asian Conference on Remote Sensing (ACRS) 2025 yang digelar di Makassar pada 27-31 Oktober 2025 lalu, diikuti para peneliti hingga ahli penginderaan jauh dari berbagai negara di belahan dunia.
Penelitian terkait sengketa tapal batas HST-Kotabaru itu dibawakan oleh Dr. Ir. H. Sa’dianoor selaku Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman HST dan juga pengurus Masyarakat Ahli Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) Kalsel.
“Judul penelitian kami yakni Analisis Survei dan Wawancara Lapangan Terkait Penolakan Masyarakat Balai Adat Manggajaya Terhadap Kesepakatan Batas Administrasi Antara Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Kabupaten Kotabaru yang disajikan berbahasa Inggris,” ujar Sa’dianoor di Barabai, Kamis (13/11/2025).
Hadirnya penelitian ini merupakan buah pemikiran Bupati HST Samsul Rizal bersama Wakil Bupati HST H. Gusti Rosyadi Elmi yang konsen memperjuangkan hak ulayat masyarakat adat di Pegunungan Meratus HST.
Sa’dianoor menerangkan, dalam penelitian ini menggabungkan hasil survei lapangan GPS, wawancara dengan tetua adat Meratus, analisis citra satelit multisumber (SPOT, Google Maps, DEM), serta kajian sosial mengenai hak ulayat dan akses masyarakat adat.
Temuan penelitiannya terdapat deliniasi batas tidak akurat secara spasial, yakni penetapan batas 2021 lalu tidak didasarkan pada pelacakan lapangan yang memadai, seperti survei GPS, pemeriksaan fisik di lapangan (ground check), maupun validasi terhadap bentuk geografis sebenarnya di wilayah tersebut.
Dalam hal ini Tim Penelusuran Batas Daerah (TPBD) Kabupaten HST telah melakukan pelacakan batas di daerah ini sejak tahun 2005 dan secara reguler melakukan pembinaan di daerah ini, serta kegiatan pelacakan dan toponimi tercatat secara digital di dalam blog TPBD HST https://tpbdhst.blogspot.com
Kemudian, jika dibandingkan dengan kondisi topografi, khususnya puncak gunung, hasil batas yang ditetapkan tidak sesuai dan tidak akurat jika di-overlay dengan data peta Digital Elevation Model (DEM) atau Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) serta data geospasial lainnya. Terlihat hasil deliniasi kesepakatan tidak benar-benar di puncak perbukitan.
Lebih lanjut, penetapan batas juga tidak didukung oleh toponimi lokal yang valid dan diakui oleh masyarakat setempat, sebagaimana dipersyaratkan dalam Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah, sehingga berpotensi menciptakan kesalahan penafsiran ruang dan konflik sosial.
“Sedangkan data milik Kabupaten Hulu Sungai Tengah sebelumnya berdasarkan pelacakan di lapangan dengan toponimi yang dilengkapi koordinat dan foto lapangan,” jelasnya.
Selain itu, Pemkab HST juga telah mengajukan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) kepada kementerian terkait untuk pembangunan akses jalan di Pegunungan Meratus. Langkah ini dilakukan agar pembangunan infrastruktur vital, khususnya jalan penghubung antar desa dan ke sekolah, tetap dapat berjalan.
Akibat kesepakatan batas yang tidak sesuai pada 2021 tersebut, HST kehilangan luasan wilayah lebih dari 19 ribu hektare dan rencana pembangunan infrastruktur vital jalan penghubung antar desa dan ke sekolah terancam gagal karena sebagian wilayah terpotong menjadi wilayah Kotabaru.
“Penentuan dan penyelesaian batas wilayah bukan sekadar proses pemetaan teknis, melainkan isu multidimensi yang memerlukan keterlibatan para pemimpin adat dan pengakuan substansial terhadap klaim tradisional masyarakat adat. Untuk itu, peninjauan ulang batas wilayah HST-Kotabaru sangat penting untuk dilakukan,” tekannya.
Ia juga dalam penelitian itu memberikan sejumlah catatan refleksi, yakni kebijakan batas kolaboratif meningkatkan akurasi pemetaan, pendekatan berbasis lapangan memastikan pengambilan keputusan yang sah, proses inklusif mendukung tata kelola spasial yang adil.
Kemudian, kearifan lokal mendorong pengelolaan lahan berkelanjutan, transparansi memperkuat kepercayaan dan mengurangi konflik, serta kebijakan tata ruang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan masyarakat.
Hasil penelitian itu pun dibahas mendalam oleh berbagai peneliti dan ahli penginderaan jauh lainnya dari berbagai negara yang menekankan perlunya pelacakan lapangan spasial dan pelibatan pemimpin adat dalam proses kesepakatannya.(adv/ari)
Diterbitkan tanggal 14 November 2025 by admin












Discussion about this post