TIDAK terasa sebentar lagi akan menuju Temu Teman 21 di Bima, Nusa Tenggara Barat. Ini akan menjadi perhentian selanjutnya dari Temu Teater Mahasiswa Nusantara atau Temu Teman.
Bicara soal Temu Teman, masih banyak yang belum saya ketahui meskipun dua edisi telah saya ikuti yakni Temu Teman 19 Jambi, dan Temu Teman 20 Makassar.
Jambi adalah edisi pertama yang saya ikuti, sudah lama betul dan banyak cerita tentang Temu Teman, entah dari senior kami masing masing di pekerja seni kampus mengenai pengalaman mereka mengikuti Temu Teman.
Singkat cerita 2022 lalu menjadi awal kesempatan saya dan kawan kawan dari Teater Himasindo berangkat ke sana, sebuah perjalanan panjang melintasi separuh pulau Jawa menuju pulau Sumatera yakni Jambi. Perjalanan 3 hari itu cukup panjang dan melelahkan, namun berkat jejaring yang tumbuh sebelumnya dari salah satu kawan di Teater Himasindo ke teman-teman Nanggala Madura yang merupakan tuan rumah.
Jujur saja, saya dibuat kagum dengan teman-teman Nusantara. Meskipun sebagian besar didominasi dari Sumatera, namun ada juga kawan-kawan dari Jakarta, Surabaya, Palu, Makassar, dan Samarinda.
Temu Teman Jambi merupakan yang pertama saya ikuti, dan masih meninggalkan beberapa pertanyaan meskipun setiap Temu Teman memiliki ceritanya sendiri. Itu merupakan pengalaman menyenangkan, bertemu dengan teman-teman Nusantara dan bertukar pikiran menyaksikan tiap pementasan terutama pementasan dari pekerja seni kampus Makassar yang masih membekas, dan juga teman-teman di Kota Padang, Sumatera Barat.
Kolaborasi singkat kami bersama teman-teman Nusantara yang sehari latihan sehari pentas, kami melakukan teatrikal waktu itu dengan judul “Di luar Terlalu Bising”. Dan tentu saja kolaborasi Nusantara mengenai isu tuan rumah saat itu Batang Hari.
Makassar sebagai pencetus tuan rumah pun kembali mengajukan diri untuk membawa tuan rumah 20 kembali ke kota kelahirannya, dan terpilih lah Makassar waktu itu.
Untuk diketahui, Temu Teman lahir di Makassar dan pertama kali terselenggara tahun 2002 lalu. Temu Teater Mahasiswa Nusantara (Temu Teman I) berlangsung pada 22-28 April 2002 di Makassar, Sulawesi Selatan dengan tema, “Membidik Manusia Perempuan Dalam Pigura”.
Hal-hal yang ditawarkan Temu Teman pada saat itu adalah event pertunjukan teater yang mengedepankan apresiasi, dan sharing antara segenap komunitas teater kampus yang menjadi peserta, sehingga ada semacam dialektika intelektual yang terjadi di dalamnya.
Mengapa dialektika itu sangat diperlukan? karena banyak perbedaan persepsi ataupun konsep yang ada di tiap-tiap komunitas. Gagasan temu Teman sendiri dicetuskan pertama kalinya oleh salah satu pendiri komunitas Unit Pengembangan Kreatifitas Seni Budaya dan Sastra UPKSBS UMI Universitas Muslim Indonesia (Teater Tangan), Ancha Ardjae Lalilo seusai mengikuti event nasional Festival Teater Mahasiswa Nasional (FESTAMASIO) Samarinda yang dilaksanakan oleh Teater Yupa Universitas Mulawarman.
Setelahnya berputar lah Temu Teman ke beberapa kota di Nusantara diantaranya Palu, Gorontalo, Malang, Purwokerto, Bogor, Riau, Medan, Jakarta, Surabaya, Madura, Padang, Yogyakarta, Palembang, Jambi.
Dan Banjarmasin pernah disinggahi pada 2006 dan 2016.
Tercatat ada tiga kota yang dua kali menjadi pelaksana yakni Banjarmasin, Palu (2004 dan 2015), dan Makassar (2002 dan 2023). Terbaru, Bima menjadi persinggahan berikutnya dari Temu Teman 21.
Artinya telah 21 tahun Temu Teman ini berjalan. Tahun 2023 juga menjadi salah satu kesempatan saya bertemu tokoh Temu Teman melalui jejaring Temu Teman yang ada di Makassar yakni Ibrahim Massindereng. Banyak yang saya bahas dan juga saya pertanyakan karena awamnya pemahaman mengenai Temu Teman itu sendiri. Dengan beberapa bekal itu berangkat lah saya kembali menuju tempat yang menjadi kelahiran Temu Teman yakni Benteng Somba Opu, di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan.
Kali ini perjalanan sedikit ramai dengan personel yang lebih banyak dari sebelumnya, kamipun terbagi menjadi dua kloter. Singkat cerita terjadilah Temu Teman ke-20 di Makassar, meskipun ada beberapa hal yang menurut saya agak kurang menarik, terutama dari sisi pertunjukan. Hal ini pun diamini oleh sebagian teman-teman yang lain. Namun demikian, saya memaklumi juga karena setiap proses berbeda-beda, dan tentunya perlu perjalanan untuk menghasilkan suatu gagasan pertunjukan menarik.
Hanya saja, di sisi lainnya saya melihat geliat kesenian yang ada di Sulawesi Selatan terutama seni rupa dari kolaborasi kawan-kawan dengan Mantra Kolektifun, lagi-lagi sharing kebudayaan secara tidak sengaja dan bertemu Maestro Gandrang Sulawesi pak Serangdakko.
Artinya tetap ada spirit yang muncul dan hal lain yang bisa saya ambil selama kegiatan. Toh itu lebih baik ketimbang kita mengeluhkan kekurangan dalam acara. Tetapi satu yang tidak berubah dalam Temu Teman ialah jejaring yang terus tumbuh, ini yang kiranya saya harapkan terus tumbuh apalagi pada adik-adik yang sedang semangat berkegiatan, bahwa jangan lupa saling berjejaring satu sama lain.
Entah bagaimana nanti dinamikanya dalam Temu Teman ke-21 Bima, namun saya mengharapkan lahir sebuah gagasan baru yang memang perlu dipupuk secara pelan-pelan. Karena sejatinya teater apalagi teater kampus merupakan corong untuk menyuarakan apa saja yang terjadi belakangan didalam sosial kita, krisis-krisis yang terjadi, dinamika sosial itulah yang nantinya dibungkus dalam bentuk gagasan pertunjukan.
Temu Teman ini sekali lagi bukanlah perlombaan, oleh karena itu bermainlah di ruang-ruang pertunjukan itu. Karena sebagai penggiat seni dan mahasiswa, teater adalah corong pesan terhadap masyarakat mengenai isu dan keprihatinan pada kondisi saat ini.***
Diterbitkan tanggal 2 Juli 2024 by admin
Discussion about this post