MEGAPOLIS.ID, BANJARMASIN – Sejumlah isu krusial seputar teater di Kalimantan Selatan, dibedah dalam dialog santai yang digelar di Kampung Buku, Jalan Sultan Adam, Kota Banjarmasin, Jumat (31/5) malam.
Dialog dengan tajuk membaca ekosistem teater di Kalsel itu merupakan gelaran Perkumpulan Nasional Teater (Penastri) bekerjasama dengan Dewan Kesenian Kota Banjarmasin.
Sekadar diketahui, teater isu adalah pembacaan peta dan ekosistem di wilayah tertentu. Banjarmasin menjadi perhentian untuk agenda teater isu ke-16. Dalam hal ini yang berkesempatan menjadi pembicara adalah Ely Rahmi (Sanggar Budaya Kalimantan Selatan) dan Edi Sutardi (Akademisi, Teater Matahari).
Sementara dari Penastri ada Syamsul Fajri (NTB) dan Sahlan Mutjaba (Karawang dan Bandung) yang malam sebelumnya memberi Workshop Teater di Taman Budaya.
Bicara soal teater di Kalimantan Selatan tentunya tidak lepas dari peran Bapak Teater Modern Kalimantan Selatan H Adjim Arijadi dengan Sanggar Budaya yang menawarkan khasanah baru di Teater Modern. Selain itu ruh tradisi yang ada di Kalimantan Selatan melalui Bakhtiar Sanderta.
“Baik modern dan tradisi semua saling melengkapi pada teater di tempat kita, apapun yang menjadi lokalitas itu bisa kita jaga. Kita punya banyak kesenian yang mulai kita angkat lagi, apalagi generasi muda. Seperti Wayang Gung, Tantatayungan, dan Lamut, jangan sampai itu hilang. Bagaimanapun itu merupakan kekayaan yang perlu kita jaga. Dan, saya berharap selalu ada dialog antara tiap generasi yang bergelut di teater, bagaimanapun kita perlu tetap berbagi dan menjaga spirit itu tetap ada seperti para pendahulu,” Edi Sutardi.
Menurutnya, teater di Kota Banjarmasin tidak lepas dari beberapa kelompok teater, pada perkembangannya ada teater kampus maupun pelajar. Mereka inilah yang menjaga dan memberi gagasan. Pak Adjim dengan naskahnya memberi gagasan dalam cerita tokoh yang ada di Banjarmasin, bukan hanya sekadar teater modern. Kemudian penggiat teater kampus memberi gagasan dengan Teater Palui yang sempat bekerjasama dengan salah satu media cetak lokal, kemudian dikembangkan dan terbaru ada Festival Teater Komedi Gardu. “Ini adalah gagasan yang lahir, bagaimana support dan peran tiap kelompok untuk menjaga itu,“ tambah Edi.
Sedangkan Irwan Aprialdy menambahkan beberapa poin penting terkait teater isu.
“Penting bagi kawan-kawan semua untuk memahami literasi, karena ini masih minim. Bagaimanapun juga literasi penting terutama untuk membangun pemikiran kita. Kemudian soal kritik bagi saya kritik itu penting, namun beberapa teman teman merasa kritik itu malah menganggu, dan perlu juga kritik ini tidak hanya sebatas menyalahkan namun ada hal membangun didalamnya,” ujarnya.
Hal senada disampaikan oleh Novyandi (NSA, Akademisi), bahwa kritik harus ada, karena dari sinilah bisa mengembangkan karya.
“Sekarang kritikus sudah mulai jarang, padahal dalam pementasan ini perlu, artinya dalam seni pertunjukan selain penampil yang kita perlu perhatikan adalah kritikus,” ucapnya.
Sementara itu, Munir (Sineas) memberi pandangan selama ini teater terkesan terlalu ekslusif.
“Mohon maaf, hendaknya ke depan jangan menutup diri, sebab kesenian sekarang lebih kompleks. Perlu kita membuka ruang kolabarotif dan mungkin ada beberapa hal terkait romantisme kejayaan di masa lalu, khususnya di teater kampus. Sudahlah akan hal itu, jangan bebani yang menjalankan, jangan saling ketergantungan atau kita semua sebagai figure yang sama jangan jadi juru selamat, tapi jadilah juru selamat masing-masing,” katanya. Jangan lupa follow dewankesenianbjm dan Penastri. Salam budaya.(Rizky Fadhlillah)
Editor: Agus Salim
Diterbitkan tanggal 1 Juni 2024 by admin
Discussion about this post