MEGAPOLIS.ID, BANJARMASIN – Pasca Indonesia merdeka, kondisi Banjarmasin pada tahun 1965 tidak jauh berbeda dengan daerah lain. Kondisi ekonomi saat itu sangat buruk dan inflasi membumbung tinggi, harga bahan pokok meningkat hingga kehidupan masyarakat khususnya di pedesaan yang berpendidikan rendah dan jumlah keluarga yang besar sanggatlah memprihatinkan.
Sejarawan Muda Universitas Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan (Kalsel), Mansyur menjelaskan, dalam keadaan demikian masyarakat desa berusaha untuk dapat hidup lebih baik. Oleh sebab itu kebanyakan dari mereka mengadu nasib di kota. Hal tersebut mengakibatkan banyak wanita-wanita Pekerja Seks Komersial (PSK) di Kota Banjarmasin saat itu.
“Mengutip paparan penulis Sejarah Banjar, Ramli Nawawi (1986). Dia pernah mewawancarai seorang wanita penghuni Gang Mufakat (Komplek Pelacuran Tiung) bernama Rukayah asal Barabai. Dia datang ke Banjarmasin beserta wanita-wanita lainnya dengan harapan untuk mendapatkan pekerjaan di kota ini sehingga dapat membantu beban orang tuanya,” jelas Mansyur Dosen Sejarah ULM, Kamis (9/3/2023).
Lebih lanjut, Mansyur menjelaskam, Ramli Nawawi (1986) juga menuliskan terdapat informasi dari seorang laki-laki tua yang dulunya suka pelesir di Komplek Tiung dan di Rumah Kuning Pasar Kupu-Kupu.
“Laki-laki yang tidak mau disebut namanya tersebut, mengatakan ia tinggal di Banjarmasin sejak 1927. Bahwa Komplek Tiung dan Pasar Kupu Kupu dihuni wanita-wanita. yang datang dari desa-desa antara lain dari Desa Pandahan, Parigi wilayah Kabupaten Tapin dan desa-desa lainnya daerah Hulu Sungai,” ujar lelaki yang akrab disapa Sammy ini.
Wanita-wanita yang datang dari Desa Pandahan, sering disebut wanita yang berprofesi Gandut (Wanita yang pandai menyanyi untuk menghibur laki-laki dan bisa menemani tidur laki-laki).
Sammy menjelaskan, komplek-komplek tersebut pada umumnya dihuni oleh para wanita desa yang berlatar belakang pendidikan rendah dan kondisi ekonomi yang rendah pula di desa.
“Apalagi di kota tidak mudah bagi wanita yang berpendidikan rendah untuk memperoleh pekerjaan. Hal itu menyebabkan mereka mengambil jalan pintas demi mencapai berbagai hal yang diinginkan pada saat itu, terlepas dari soal baik buruknya pekerjaan yang dipilih,” jelasnya.
Pada era itu, jelas Sammy terdapat beberapa tempat operasi prostitusi atau pelacuran liar di Kotamadya Banjarmasin. Pada tahun 1965 tempat pelacuran liar terdapat sekitar Pelabuhan Lama (sekarang jalan Laksamana R.E. Martadinata). Di tempat itu pada malam hari wanita tuna susila berkeliaran mencari mangsanya. Tempat ini sangat strategis, karena para awak kapal, dan awak perahu layar sangat memerlukan hiburan-hiburan dari para wanita tuna susila, setelah beberapa lama mengarungi lautan yang ganas dan kehidupan di laut yang keras.
“Selain itu, di wilayah sekitar Pasar Kupu-Kupu (Jalan Pos), di bawah jembatan Coen, (Jembatan Jenderal A Yani KM 1) di sekitar jalan Kertak Baru juga ada rumah-rumah tempat PSK liar, yang dimiliki germo-germo, WTS-nya ada yang menetap di rumah-rumah tersebut dan ada pula yang datang pada malam hari atau datang pada waktu-waktu tertentu saja,” ujarnya.
Pada tahun 1966-1979, tempat-tempat pelacuran liar masih tetap seperti tempat sebelumnya, bahkan tempat operasi wanita tuna susila mencari pelanggan makin bertambah sesuai dengan perkembangan Kotamadya Banjarmasin.
“Seperti di sekitar Pasar Antasari, Pelabuhan Tri Sakti dan lain-lain. Di samping itu tempat hiburan seperti bioskop-bioskop dan night club sering terjadi transaksi pelacuran liar. Misalnya seorang hostes dari sebuah night club yang tugasnya menemani tamu-tamu minum dapat melacurkan diri, dengan jalan bersedia diboking lelaki iseng untuk di bawa ke hotel-hotel, penginapan-penginapan atau tempat-tempat lain yang memungkinkan terjadinya praktik pelacuran liar,” terangnya.
“Ini tentu saja mendapat imbalan yang lumayan. Pelacuran liar ini mungkin saja terjadi di tempat mana pun, manakala WTS masih menjalankan praktik pelacuran liar,” tambahnya.
Selain pelacuran liar, seperti dijelaskan di awal di Kota Banjarmasin terdapat pelacuran pemukiman. Pada tahun 1960-1970, bahwa lokasi perumahan yang mula-mula adalah di Tiung. Tiung adalah pekuburan Cina yang terdapat di jalan Jati. Di sekitar tempat pekuburan ini terdapat dua gang yaitu Gang Sepakat dan Gang Sempurna. Di gang-gang inilah dibangun perumahan-perumahan yang berjumlah tidak kurang dari 200 buah. Lokasi ini bukan tempat pelacuran yang terlokalisasi secara resmi melainkan pelacuran gelap yang berada di rumah-rumah dan lama kelamaan tempat ini menjadi ramai.
“Hal ini menarik bagi laki-laki iseng yang sering pelesir di sana dan juga menarik juga bagi wanita-wanita yang datang dari daerah maupun dari sekitar Banjarmasin sendiri untuk terjun ke lembah ini sebagai wanita penghibur,” pungkasnya.
Karena lokasi ini musnah terbakar maka pemerintah daerah memindahkan pemukiman di Jalan Jati Gang Sederhana dan Gang Sempurna ini ke lokasi baru di Begau, yang kemudian tumbuh menjadi tempat pelacuran yang terlokalisasi secara resmi dengan penghuni yang cukup banyak.
Di samping lokasi pelacuran Tiung, terdapat lokasi yang cukup besar yaitu di Pasar Kupu-Kupu, belakang RRI lama jalan Lambung Mangkurat. Lokasi ini pernah jaya di tahun 1965-1970-an.(TIN)
Sumber: Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Masyur S. Pd M. Hum
Diterbitkan tanggal 10 Maret 2023 by admin